TSMlBUA7TprpTUG5BSGlTfA7GA==

Evaluasi Kegagalan Timnas U-17 di Piala Asia 2025, Momentum Pembenahan Fondasi Sepak Bola Usia Muda

 

Evaluasi Kegagalan Timnas U-17 di Piala Asia 2025, Momentum Pembenahan Fondasi Sepak Bola Usia Muda
Gambar : Juara.Net


Jogjterkini.id Kiprah Tim Nasional Indonesia U-17 di ajang Piala Asia U-17 2025 resmi terhenti setelah menelan kekalahan telak 0-6 dari Korea Utara dalam babak perempat final. Meski hasil ini mengecewakan, namun hal tersebut dapat menjadi titik balik penting untuk mengevaluasi pembinaan usia muda yang masih menyisakan banyak pekerjaan rumah.

Pertandingan yang berlangsung di King Abdullah Sports City Hall Stadium, Jeddah, pada Senin (14/4), memperlihatkan betapa jauhnya perbedaan kualitas antara tim muda Indonesia dengan salah satu tim terkuat dari Asia Timur. Korea Utara mencetak gol cepat di menit ke-7 melalui Choe Song-hun dan terus mendominasi permainan hingga enam gol bersarang di gawang Dafa Setiawarman tanpa balas.

Lebih dari Sekadar Kekalahan

Kekalahan ini tidak semestinya dipandang semata sebagai kegagalan hasil, melainkan cermin dari tantangan mendasar dalam sistem pembinaan sepak bola muda nasional. Dari minimnya pengalaman internasional, kualitas kompetisi di level junior, hingga kurangnya integrasi antarjenjang pembinaan menjadi faktor penting yang harus ditinjau ulang.

Menurut pengamat sepak bola junior, Ardi Rahman, perbedaan kecepatan permainan dan ketajaman taktik yang ditunjukkan pemain Korea Utara mencerminkan konsistensi sistemik dalam pembinaan mereka. "Tim-tim Asia Timur seperti Korea Utara, Jepang, dan Korea Selatan membangun skuad mereka dari struktur usia yang sangat disiplin. Mereka tidak hanya menargetkan hasil turnamen, tapi menanamkan filosofi permainan sejak usia dini," ungkapnya.

Minimnya Jam Terbang Internasional

Salah satu aspek mencolok dalam pertandingan tersebut adalah bagaimana pemain Indonesia terlihat gugup dan tidak siap menghadapi tekanan cepat dari lawan. Minimnya partisipasi dalam turnamen internasional dan uji coba level tinggi membuat Garuda Muda kurang terbiasa menghadapi atmosfer pertandingan yang kompetitif.

Data dari PSSI menunjukkan bahwa dibandingkan dengan negara-negara seperti Jepang yang memiliki rata-rata 12 laga uji coba internasional per tahun untuk tim juniornya, Indonesia hanya mencatatkan 3-5 pertandingan sepanjang tahun.

Capaian yang Perlu Dihargai

Meski harus tersingkir dengan skor mencolok, pencapaian Indonesia lolos hingga ke perempat final tetap patut diapresiasi. Ini menjadi capaian terbaik kedua setelah edisi 1990 ketika tim berhasil menembus semifinal. Di sisi lain, hasil ini menyamai prestasi tahun 2018 di bawah asuhan Fachry Husaini.

Yang membedakan kali ini adalah ekspektasi publik yang lebih tinggi menyusul berbagai pembaruan program Elite Pro Academy dan akademi klub. Namun, hasil akhir ini menunjukkan bahwa reformasi pembinaan usia muda harus dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan, tidak hanya menjelang turnamen semata.

Langkah Lanjut yang Mendesak

Pakar kepelatihan usia muda, Coach Yeyen Tumena, menyarankan agar PSSI dan pemangku kepentingan lainnya segera mengevaluasi program pelatihan jangka panjang. "Penting untuk menciptakan roadmap pembinaan yang menyambungkan level U-13 hingga U-23 dengan gaya bermain yang konsisten. Kita butuh revolusi, bukan sekadar regenerasi," ujarnya.

Selain itu, keterlibatan pelatih dengan sertifikasi internasional, peningkatan fasilitas latihan modern, serta sinergi dengan dunia pendidikan juga dinilai krusial untuk mendukung lahirnya pemain-pemain bertalenta yang siap bersaing di level Asia bahkan dunia.

Piala Asia U-17 2025 bukan akhir, melainkan permulaan bagi Indonesia untuk belajar dan bangkit. Kekalahan dari Korea Utara harus dijadikan momentum membenahi fondasi sepak bola nasional mulai dari akar. Dengan perencanaan jangka panjang, investasi serius pada pelatihan, serta dukungan penuh dari seluruh pihak, sepak bola Indonesia bisa melahirkan generasi emas di masa mendatang.

Ketik kata kunci lalu Enter

close