TSMlBUA7TprpTUG5BSGlTfA7GA==

Sikapi Konflik PT KAI dan Warga, GKR Mangkubumi Dorong Penyelesaian Tanpa Merugikan

 

Sikapi Konflik PT KAI dan Warga, GKR Mangkubumi Dorong Penyelesaian Tanpa Merugikan
Gambar (Radar Jogja)


Jogjaterkini.id - Rencana penggusuran 14 bangunan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) di Kampung Tegal Lempuyangan, Kelurahan Bausasran, Kecamatan Danurejan, Kota Yogyakarta, terus menuai sorotan. Kali ini, Penghageng Datu Dana Suyasa Keraton Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi, angkat bicara dan menegaskan bahwa proses penyelesaian sedang berlangsung dan warga terdampak tidak akan dirugikan.

Dikutip dari DetikJogja GKR Mangkubumi menyampaikan bahwa dirinya telah melakukan komunikasi dengan semua pihak yang terkait dalam persoalan tersebut. Ia mengungkapkan harapan agar proses ini segera mendapatkan titik temu yang menguntungkan bagi semua pihak.

"(Polemik Lempuyangan) Iya sedang berproses, jadi sudah ketemu sama warga, saya sudah ketemu sama KAI, ya mudah-mudahan bisa segera selesai," ujar Mangkubumi saat ditemui di Kompleks Balai Kota Yogyakarta, Rabu (14/5/2025).

Lebih lanjut, putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X itu menyiratkan bahwa masyarakat yang terdampak tidak akan menerima ganti rugi, melainkan ganti untung. Konsep ini menjadi bentuk pendekatan yang lebih manusiawi dalam penyelesaian konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan negara.

"Tinggal itung-itungan semuanya, ganti untung, bukan ganti rugi," ucap Mangkubumi.

Sebagai informasi, wilayah yang menjadi objek rencana penggusuran berada di sepanjang sisi selatan Jalan Lempuyangan. Bangunan-bangunan tersebut diklaim oleh PT KAI sebagai eks rumah dinas perusahaan yang kini masuk dalam kawasan pengembangan Stasiun Lempuyangan. Pihak perusahaan meminta warga segera mengosongkan bangunan yang ditempati, namun mendapat penolakan.

Penolakan tersebut disampaikan langsung oleh Ketua RW 01 Bausasran, Anton Handriutomo. Ia menjelaskan bahwa sejumlah warga memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menunjukkan keberadaan mereka di lokasi tersebut telah diakui.

"SKT itu memang bukan sertifikat tanah, tapi SKT itu adalah surat keterangan tanah di mana yang bersangkutan itu sudah tinggal di situ. Dari SKT itu ditindaklanjuti menjadi kekancingan," jelas Anton saat ditemui di kediamannya, Rabu (9/4).

Namun proses permohonan kekancingan dari warga terganjal oleh syarat administratif dari Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (Dispertaru), yang meminta adanya surat kerelaan dari PT KAI sebagai pemilik aset.

"Cuma ketika kita mau minta kekancingan itu ternyata terhambat dari Dispertaru. Mensyaratkan kalau minta kekancingan, itu harus ada karena ini kan dianggap asetnya PT KAI kita diminta kerelaan dari PT KAI. Ya, pasti PT KAI nggak akan memberikan kerelaan," tambahnya.

Anton juga menuturkan bahwa pihak PT KAI sempat mengadakan beberapa kali sosialisasi serta pengukuran lahan, namun upaya tersebut ditolak oleh warga. Bahkan, warga telah membawa keluhan mereka ke DPRD Kota Yogyakarta dan meminta perlindungan hukum dari LBH Yogyakarta.

Di tengah ketegangan tersebut, PT KAI masih memilih sikap tertutup dan belum memberikan penjelasan lebih lanjut ke publik. Sementara itu, keterlibatan GKR Mangkubumi dalam upaya mediasi memberi harapan baru bahwa penyelesaian konflik dapat dilakukan tanpa mengorbankan hak-hak warga.

Dengan wacana “ganti untung” yang mulai mencuat, masyarakat kini menanti realisasi konkret dari proses yang diklaim masih berlangsung tersebut. Harapannya, semua pihak dapat menemukan solusi yang adil dan bermartabat, tanpa menambah daftar panjang konflik agraria di Yogyakarta.

Ketik kata kunci lalu Enter

close