![]() |
Gambar : CNBC Indonesia |
Jogjaterkini.id - Rencana pemerintah untuk menerapkan kebijakan satu harga terhadap LPG 3 kilogram menuai kritik tajam dari kalangan akademisi. Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai kebijakan tersebut justru berisiko memperparah beban subsidi dan tidak akan menjamin tepat sasaran kepada masyarakat yang berhak.
Dalam keterangannya, Fahmy menyebut bahwa skema satu harga LPG 3 kg tidak sebanding dengan program BBM satu harga yang distribusinya dikendalikan langsung oleh SPBU Pertamina. Sementara LPG 3 kg melibatkan rantai distribusi panjang mulai dari agen, pangkalan, hingga pengecer. "Berhubung kebijakan LPG 3 Kg satu harga tidak dapat mencapai tujuan agar distribusi lebih tepat sasaran dan mengurangi disparitas harga bagi konsumen miskin, sebaiknya dibatalkan rencana kebijakan itu," tegas Fahmy dikutip dari https://turkeconom.com/category/politik/ . .
Ia menilai bahwa harga jual LPG yang bervariasi di tingkat pengecer masih wajar karena mencerminkan ongkos distribusi dan margin keuntungan yang rasional. Bahkan, menurutnya, disparitas harga tersebut membentuk harga keseimbangan alami di pasar. "Harga di antara pengecer akan membentuk harga keseimbangan, sehingga mustahil bagi pengecer mematok harga LPG 3 Kg hingga Rp50.000 per tabung," ujarnya.
Lebih lanjut, Fahmy mewanti-wanti bahwa jika pemerintah tetap memaksakan kebijakan ini, besar kemungkinan Presiden Prabowo akan membatalkannya di kemudian hari. “Kalau nekad menerapkan kebijakan satu harga LPG 3 Kg berpotensi akan dibatalkan oleh Presiden Prabowo,” tandasnya.
Sementara itu, pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengonfirmasi bahwa kebijakan LPG satu harga tengah dirumuskan untuk mulai berlaku pada 2026. Menurut Bahlil, langkah ini merupakan bagian dari upaya reformasi tata kelola LPG dan mendorong pemerataan harga yang adil serta penyaluran subsidi yang lebih tepat sasaran.
"Kami akan mengubah beberapa metode agar kebocoran ini tidak terjadi, termasuk harga yang selama ini diberikan kepada daerah. Kita dalam pembahasan Perpres, kita tentukan saja satu harga supaya jangan ada gerakan tambahan di bawah," jelas Bahlil.
Ia mengungkapkan bahwa revisi terhadap Perpres Nomor 104 Tahun 2007 dan Perpres Nomor 38 Tahun 2019 tengah disusun, dengan fokus pada efisiensi logistik, distribusi langsung ke sasaran rumah tangga, usaha mikro, nelayan, dan petani. Regulasi baru ini diharapkan mampu mengatasi ketimpangan harga LPG 3 kg yang kerap terjadi di lapangan.
Hasil temuan pemerintah menyebutkan bahwa harga LPG 3 kg di beberapa daerah bisa melonjak hingga Rp50.000 per tabung, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan antara Rp16.000 hingga Rp19.000. Ketidaksesuaian ini, kata Bahlil, mengindikasikan kebocoran subsidi serta rantai distribusi yang tidak efisien.
Menambahkan pernyataan Bahlil, Wakil Menteri ESDM, Yuliot, menyebut bahwa mekanisme LPG satu harga akan meniru skema BBM satu harga yang sudah berjalan. Ia menegaskan, evaluasi akan dilakukan berdasarkan kondisi masing-masing provinsi. “Itu nanti untuk setiap provinsi, jadi ditetapkan itu satu harganya. Jadi nanti akan kita evaluasi untuk setiap provinsi,” ujarnya.
Transformasi subsidi LPG 3 kg menjadi berbasis penerima manfaat juga akan menjadi pilar utama kebijakan ini. Pemerintah tengah mempersiapkan integrasi data, infrastruktur, serta mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi masyarakat guna memastikan kebijakan berjalan secara adil dan efektif.
Meski penuh harapan dari sisi pemerintah, kritik dari akademisi menunjukkan bahwa kebijakan ini masih perlu dikaji lebih dalam, terutama dalam aspek implementasi teknis dan dampaknya terhadap masyarakat kecil. Pemerintah pun dihadapkan pada tantangan untuk menyeimbangkan antara efisiensi subsidi dan keadilan akses energi bagi seluruh lapisan masyarakat.