![]() |
Ketua Komisi D DPRD DIY, RB Dwi Wahyu (Viva Jogja) |
Jogjaterkini.id – Ketua Komisi D DPRD DIY, RB Dwi Wahyu,
menyoroti pelaksanaan program Sekolah Rakyat yang digulirkan pemerintah pusat
dinilai berlangsung tanpa perencanaan matang di tingkat daerah. Menurutnya,
kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) di Daerah Istimewa
Yogyakarta masih jauh dari kata siap.
Dwi mengungkapkan bahwa hingga pertengahan Juli 2025 ini,
sejumlah hal mendasar belum dipenuhi oleh pemerintah daerah. Ketiadaan guru
yang memadai serta belum adanya wali asrama di beberapa lokasi menjadi masalah
serius yang menghambat efektivitas program.
“Mengakomodir SDM-nya saja belum beres. SDM gurunya belum
beres kan. Kolaborasi antara Dinas Sosial, PU, dan Dinas Pendidikan sebetulnya
belum selesai,” ujar Dwi dikutip dari Harian Jogja.
Ia menjelaskan bahwa idealnya program Sekolah Rakyat diawali
dengan kajian komprehensif yang mencakup pendataan calon peserta, kesiapan
kurikulum, sistem pembelajaran, serta penyediaan sarana dan prasarana
pendidikan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan di
daerah masih diwarnai kebingungan.
“Kalau boleh jujur sekarang belum selesai, jadi
penyelenggaraan Sekolah Rakyat yang itu instruksi dari pusat, sebetulnya di
daerah masih bingung pelaksanaannya seperti apa,” terangnya.
Lebih lanjut, Dwi menekankan pentingnya sinergi lintas
instansi. Ia menilai kolaborasi antara Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, dan
Dinas Pekerjaan Umum belum terbentuk secara optimal.
“Maka Dinsos akan bicara kebutuhannya berapa. Dinas
Pendidikan akan bicara soal sistem, pembelajaran berikut kurikulumnya sampai
kepada SDMnya. Dinas PU menyediakan tempatnya. Nah tiga instansi ini masih
belum jelas kolaborasinya,” jelasnya.
Komisi D juga mencermati belum meratanya pelaksanaan
program. Hingga kini, hanya dua Sekolah Rakyat yang beroperasi, yakni di
Kabupaten Sleman dan Bantul. Padahal, wilayah seperti Gunungkidul dan
Kulonprogo yang memiliki tingkat kemiskinan lebih tinggi justru belum
tersentuh.
“Seharusnya kalau basisnya kemiskinan, Gunungkidul atau
Kulonprogo yang lebih banyak. Tapi ini belum merata karena perencanaan yang
tergesa-gesa,” tambah Dwi.
Meskipun mengkritisi implementasi di lapangan, Dwi tetap
mengapresiasi konsep dasar dari program ini, khususnya sistem boarding class
yang dinilai mampu memperkuat pembentukan karakter siswa.
“Secara prinsip Sekolah Rakyat saya suka sekali, dari sistem
Boarding Class, kalau ini targetnya salah satunya adalah karakter. Saya kira
model pendidikan militer itu belum tentu akan menciptakan sebuah karakter,”
tandasnya.
Komisi D mendesak agar pemerintah daerah memperkuat
koordinasi antardinas sebelum memperluas cakupan program. Evaluasi menyeluruh
dinilai mutlak dilakukan agar Sekolah Rakyat benar-benar menjawab kebutuhan
masyarakat miskin dan tidak sekadar menjadi proyek formalitas.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial DIY, Endang Patmintarsih,
mengakui bahwa pelaksanaan program masih dalam tahap penyesuaian. Salah satu
tantangan utama adalah belum terpenuhinya jumlah wali asrama yang dibutuhkan,
mengingat sekolah ini berbasis asrama.
“Masih berproses semuanya, sekarang masa pengenalan
lingkungan sekolah sambil berproses. Tapi ada semuanya nanti, akan ada walaupun
belum lengkap sesuai jumlahnya. Akan dilengkapi,” jelas Endang.
Tak hanya itu, kekurangan guru juga masih menjadi persoalan,
termasuk untuk mata pelajaran agama tertentu.
“Guru agama Hindu juga belum ada walau muridnya satu, ini
menyusul. Kita juga sudah berkoordinasi untuk itu,” tambahnya.
Dengan segala catatan yang ada, pelaksanaan Sekolah Rakyat
diharapkan tidak hanya menjadi respons instan atas perintah pusat, melainkan
benar-benar lahir dari perencanaan terintegrasi demi mewujudkan pendidikan yang
inklusif dan berkualitas di Yogyakarta