TSMlBUA7TprpTUG5BSGlTfA7GA==

Sejarah Kaliurang, Dari Perkebunan Nila hingga Menjadi Destinasi Wisata Legendaris di Lereng Merapi

 

Sejarah Kaliurang, Dari Perkebunan Nila hingga Menjadi Destinasi Wisata Legendaris di Lereng Merapi
Gambar : Nagan Tour

Jogjaterkini.id - Kawasan Kaliurang di Sleman, Yogyakarta, selama ini dikenal sebagai destinasi favorit wisatawan yang ingin menikmati udara sejuk dan panorama Gunung Merapi. Namun di balik suasananya yang damai, tersimpan kisah panjang tentang bagaimana kawasan ini tumbuh dari lahan kerajaan menjadi pusat wisata bersejarah yang sarat nilai budaya.

Tak banyak yang tahu, tempat yang kini dipenuhi villa dan penginapan modern dulunya adalah area perkebunan nila milik Kasultanan Yogyakarta. Dari sinilah awal perjalanan panjang Kaliurang dimulai.

Awal Mula: Dari Tanah Keraton ke Lahan Perkebunan Nila

Catatan sejarah menunjukkan bahwa Kaliurang awalnya merupakan wilayah pertanian Kasultanan Yogyakarta yang dimanfaatkan sebagai perkebunan nila (indigo). Namun pada 1910 hingga 1922, aktivitas perkebunan mulai ditutup dan lahan tersebut direboisasi.

Proses penghijauan itu justru membuka babak baru bagi Kaliurang. Dengan udara sejuk dan pemandangan langsung ke Gunung Merapi, kawasan ini mulai dilirik sebagai tempat peristirahatan bagi para pejabat kolonial.

Menurut arsip kolonial yang dikutip dari buku Gegevens over Djokjakarta karya LF Dingermans (1925), pengembangan Kaliurang sebagai kawasan resort dimulai pada masa Residen Canne di awal 1920-an. Tak lama kemudian, Residen Jonquiere menetapkan sebagian wilayah sebagai vrijdomein atau tanah bebas untuk pembangunan villa dan fasilitas rekreasi.

Kaliurang: Resort Elit Hindia Belanda di Kaki Merapi

Memasuki abad ke-20, suasana sejuk dan tenang di Kaliurang menarik perhatian warga Eropa yang tinggal di Yogyakarta. Sekitar 30 villa bergaya kolonial berdiri di kawasan dengan ketinggian sekitar 900 meter di atas permukaan laut ini.

Selain berfungsi sebagai tempat berlibur, kawasan ini juga dikenal sebagai lokasi pemulihan kesehatan. Terdapat sanatorium TBC yang kini menjadi RS Panti Nugroho, lengkap dengan lapangan tenis dan jalur pejalan kaki menuju hutan Merapi.

Uniknya, tidak hanya warga Belanda yang membangun tempat peristirahatan di sini. Pihak keraton Yogyakarta dan Pakualaman turut mendirikan pesanggrahan megah dengan gaya arsitektur yang memadukan unsur Jawa dan Eropa.

Pesanggrahan Ngeksiganda milik Kasultanan Yogyakarta, misalnya, memiliki enam bangunan dengan fungsi berbeda, termasuk gedung utama, keputren, dan rumah diesel. Arsitekturnya menampilkan harmoni antara gaya Indis klasik dan sentuhan budaya istana.

Sementara itu, Pesanggrahan Hargopeni yang dibangun Paku Alam VII pada 1927 tampil dengan gaya New Indies Style. Bangunan berveranda luas ini dirancang agar tetap sejuk, menyesuaikan iklim pegunungan Merapi.

Jalan Kaliurang: Akses Sejarah yang Masih Bertahan

Untuk menunjang perkembangan kawasan resort, pemerintah Hindia Belanda kemudian membangun akses jalan menuju Kaliurang pada 1923. Jalur ini awalnya dikenal sebagai Pakemweg sebelum berganti nama menjadi Jalan Kaliurang (Jakal) setelah Indonesia merdeka.

Transportasi umum juga sempat menjadi bagian penting dari sejarah kawasan ini. Bus Baker (Badan Angkutan Kerjasama Ekonomi Rakyat) yang mulai beroperasi pada 1950 menjadi ikon perjalanan menuju Kaliurang hingga awal 2000-an.

Kaliurang dalam Sejarah Diplomasi Indonesia

Kaliurang bukan hanya dikenal karena alamnya, tapi juga karena peran pentingnya dalam sejarah diplomasi Indonesia. Pada 13 Januari 1948, kawasan ini menjadi lokasi Perundingan Komisi Tiga Negara (KTN)  misi dari PBB yang menengahi konflik antara Indonesia dan Belanda setelah Agresi Militer I.

Presiden Soekarno kala itu menginap di Wisma Merapi Indah I, sementara para delegasi asing menempati sejumlah pesanggrahan di sekitar Kaliurang. Pertemuan ini menghasilkan Notulen Kaliurang, yang menjadi salah satu dasar menuju Perjanjian Renville.

Ditapkan Sebagai Kawasan Cagar Budaya

Kini, Kaliurang telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya (KCB) dengan luas 35,1 hektar, mencakup zona inti, penyangga, dan pengembangan. Beberapa bangunan bersejarah di dalamnya memiliki nilai arsitektur dan sejarah tinggi, antara lain:

  • Wisma Kaliurang (eks Hotel Leh Meyer, 1931), tempat berlangsungnya perundingan KTN.

  • Hostel Vogels, villa bergaya Art Deco milik Patih Danureja VII yang sempat digunakan AURI sebagai klinik.

  • Pesanggrahan Ngeksiganda milik Kasultanan Yogyakarta, saksi perundingan tahun 1948.

  • Pesanggrahan Hargopeni milik Pakualaman, yang pernah ditempati delegasi Australia dalam KTN.

  • Wisma Gadjah Mada, berdiri tahun 1919 dan digunakan untuk tamu UGM sejak 1965.

Bangunan-bangunan ini kini menjadi bukti nyata bagaimana Kaliurang menyimpan lapisan sejarah yang kaya  dari masa kolonial hingga kemerdekaan.

Menikmati Pesona Alam dan Sejarah Kaliurang

Bagi wisatawan masa kini, Kaliurang tak hanya menawarkan kesejukan udara pegunungan, tapi juga pengalaman berwisata sejarah. Pengunjung bisa berjalan santai di taman-taman hijau, berkunjung ke Museum Ullen Sentalu untuk mengenal budaya Jawa, atau menelusuri bangunan kolonial yang menjadi saksi diplomasi dunia.

Untuk keluarga, Taman Rekreasi Kaliurang dan Tlogo Putri menghadirkan suasana segar dengan wahana anak dan spot foto bernuansa alam. Setelah puas berkeliling, wisatawan dapat bersantai di kafe atau penginapan di sekitar lereng Merapi sambil menikmati secangkir minuman hangat.

Warisan Sejarah yang Tetap Hidup

Transformasi Kaliurang dari lahan perkebunan menjadi kawasan wisata bersejarah menunjukkan bagaimana alam, budaya, dan sejarah bisa berpadu dalam satu tempat. Di sinilah kekuatan utama Kaliurang: bukan sekadar destinasi wisata, tetapi juga ruang hidup yang menjaga ingatan masa lalu sekaligus menjadi saksi perjalanan panjang Yogyakarta.

Jadi, jika kamu ingin menikmati keindahan Merapi sambil menelusuri jejak sejarahnya, Kaliurang adalah destinasi yang wajib masuk daftar perjalananmu berikutnya.


Ketik kata kunci lalu Enter

close